Hari Ibu Dalam Perspektif Perjuangan Kartini
SUDAH menjadi pemahaman bersama jika di Indonesia ada dua hari besar yang menitikberatkan pada peran wanita, yakni Hari Ibu yang jatuh pada setiap 22 Desember dan Hari Kartini dirayakan setiap tanggal 21 April. Dua perayaan itu memperlihatkan bagaimana penghargaan (mungkin juga usaha) negara bangsa terhadap peran dan fungsi kaum wanita di Indonesia. Bisa diartikan sebagai upaya penyetaraan antara peran kaum laki-laki dengan kaum wanita di segala bidang. Akan tetapi, pelaksanaan penyetaraan itu dalam praktik, sangatlah sulit. Sering terlihat peran laki-laki berada jauh di atas wanita dan bahkan kekerasan dalam rumah tangga lebih banyak disebabkan oleh dominasi laki-laki terhadap perempuan sebagai eksitensial.
Dalam batasan lebih jauh, kekuatan otot sepertinya mempunyai keunggulan dibanding otak, rasa dan tindakan. Padahal tidak seharusnya demikian. Inilah kenyataan yang harus diluruskan lagi.
Melihat konteks itu, maka bisa dikatakan upaya penyamaan peran antara laki-laki dengan wanita di Indonesia itu adalah sebuah perjuangan. Lebih tegas lagi, sebuah perjuangan yang mempunyai sifat kontinyu, terus-menerus. Sebagai sebuah perjuangan, harus ada alasan yang jelas terhadap usaha itu, dimana alasan itu mesti berkonotasi ketidakadilan dan tekanan atau penderitaan yang terjadi pada satu pihak oleh pihak yang lain. Indonesia berjuang melawan penjajahan (entah Belanda, Inggris maupun Jepang) karena melihat adanya ketidakadilan dari kehadiran para penjajah itu dan juga melihat tekanan, dominasi dan penderitaan dari hadirnya penjajah. Maka jika perjuangan yang dilakukan terhadap persamaan peran dari perempuan, upaya ini dilakukan karena adanya indikator-indikator seperti yang disebutkan di atas.
Jika demikian, maka ketidakseimbangan yang sering terjadi pada wanita Indonesia bisa dilihat pada bidang-bidang yang lumayan banyak, baik publik maupun privat. Di ranah publik misalnya, kedudukan perempuan dalam perannya sebagai pejabat masih jauh lebih kecil dibanding dengan laki-laki. Tidak banyak perempuan Indonesia yang menjadi direktur, eksekutif, politisi dibandingkan dengan laki-laki. Itu terjadi di bidang swasta maupun negeri. Bahkan pada bidang pendidikan kalimat seperti, ''Ayah membaca koran dan Ibu memasak di dapur'', masih sering dipakai contoh. Ini adalah beberapa contoh ketidakadilan yang terjadi pada perempuan di Indonesia. Dikatakan tidak adil karena, meski dalam fisik secara kodrati mungkin wanita itu lebih lemah dari laki-laki, akan tetapi dalam kemampuan kognitif dan perasaan, wanita bisa jadi lebih kuat. Dalam beberapa catatan di perguruan tinggi, indeks prestasi akademik yang lebih besar, justru secara kuantitatif lebih banyak didapatkan oleh mahasiswi. Ini juga berlaku untuk jenjang pendidikan S2 dan S3. Lalu, siapakah yang paling mampu menahan sakit di dunia ini? Wanita adalah makhluk yang ditakdirkan Tuhan untuk mampu menahan sakit saat melahirkan.
Pekerjaan menjadi politisi, eksekutif di kantor maupun di jajaran pemerintahan, jelas memerlukan kekuatan kognitif dan kekuatan menahan persaan. Wanita seharusnya diberikan kedudukan yang sama dalam mendapatkan posisi seperti ini. Ketidakdilan terletak pada posisi ini. Jadi kalimat contoh yang mampu memberikan inspirasi kebangkitan wanita paling tidak adalah, ''Ayah bekerja di kantor dan ibu mengajar di sekolah.''
Perempuan di Indonesia juga sering dipakai sebagai 'pihak subordinatif', dalam arti bukan sebagai pemegang peranan sentral di dalam rumah tangga. Contoh yang paling sederhana misalnya, terletak pada cara pandang lelaki apabila istrinya sudah tidak ada lagi. Usaha awal-awal yang dilakukan banyak lelaki Indonesia adalah berupaya mencari pasangan baru lagi untuk 'membantunya di masa tua'. Bagaimana kalau pihak istri yang kehilangan suami? Sampai saat ini masih belum ada (atau kalaupun ada, ini kecil kuantitasnya) pernyataan-pernyataan demikian yang keluar secara verbal. Padahal, justru secara kodrati perempuanlah yang mesti mendapat perlindunagan (karena secara lebih lemah dari laki-laki). Cara pandang demikian, bukan saja merupakan ketidakadilan bagi perempuan tetapi juga sebuah penderitaan.
Mengingatkan
Hari Kartini, sesungguhnya merupakan upaya untuk mengingatkan kepada seluruh masyarakat Indonesia (setiap tahun) bahwa upaya untuk memperjuangan persamaan peran, menghindari gaya subordinasi perempuan, serta kesenjangan antara wanita dan laki-laki di Indonesia, sudah diperjuangkan oleh Kartini, bahkan sejak awal abad ke-20 ini. Dengan demikian, usaha ini bernilai sangat tinggi.
Pertama, kesadaran ini telah muncul di negara berkembang seperti Indonesia. Artinya mampu menyaingi nilai-nilai Barat, yang justru saat itu menjajah Indonesia. Kedua, ada pemahaman bahwa laki-laki dan perempuan itu sebenarnya mempunyai persamaan nilai. Ketiga, peringatan Hari Kartini setiap tahun itu merupakan upaya mengingatkan bangsa secara terus menerus terhadap nilai-nilai yang diungkapkan tadi.
Pada konteks demikian, Hari Ibu sebenarnya ada posisi yang sedikit berbeda dengan Hari Kartini. Ibu merupakan komponen sosial yang mempunyai konotasi sebagai pihak yang melahirkan, yang membuat masyarakat itu ada. Jika ada yang mengatakan ibu sebagai pengasuh, jelas itu merupakan jawaban yang tepat. Akan tetapi, bukan dalam konteks kemonopolian. Di sinilah pentingnya mengaitkan antara Hari Kartini dengan Hari Ibu. Pihak ibu jelas sebagai seorang pengasuh tetapi jelas bukan memonopoli pengasuhan. Ia juga memerlukan kesetaraan peran di sini. Seorang ayah harus juga merupakan pengasuh, dan ini harus dipahami oleh seorang laki-laki. Tidak bisa kaum lelaki itu membiarkan begitu saja peran pengasuhan kepada para ibu dengan alasan laki-laki sebagai pencari nafkah.